Pages

Labels

Kamis, 07 Juni 2012

Perjanjian Perkawinan


Perkawinan merupakan perilaku sakral yang termaktub dalam seluruh ajaran agama. Dengan perkawinan diharapkan akan menciptakan pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi terhormat, interaksi hidup berumah tangga dalam suasana damai, tenteram, dan rasa kasih sayang antar anggota keluarga, yang bermuara pada pembentukan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.
Akan tetapi, fakta yang berkembang saat ini, harmonisasi keluarga terganggu oleh fenomena makin maraknya gugatan perceraian akibat kesewenangan seorang suami terhadap isterinya. Ini bisa dilihat dari praktek poligami yang tidak sehat, suami tidak memberi nafkah wajib pada isteri, suami meninggalkan isteri bertahun-tahun, serta suami melakukan kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence), baik kekerasan dalam bentuk fisik, ekonomi, maupun psikologis.
Berangkat dari fenomena yang terjadi di atas, maka dilembagakanlah perjanjian perkawinan, dalam hal ini termasuk pula taklik talak yang diproyeksikan sebagai “senjata” bagi wanita untuk mencegah kesewenang-wenangaan suami. Dengan diadakannya perjanjian perkawinan, diharapkan dapat menjadi acuan jika suatu saat timbul konflik dalam rumah tangga. Selain itu, bila dalam rumah tangga tersebut terjadi prahara, sebab suami menganiaya dan menelantarkan isteri, dan perceraian dianggap sebagai pilihan terakhir yang harus ditempuh, maka perjanjian perkawinan dapat memudahkan isteri untuk lepas dari ikatan perkawinan dengan suaminya. 
Meski demikian, di negara kita yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, menjadi persoalan yang sensitif ketika salah seorang calon pasangan berniat mengajukan untuk membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan menjadi suatu hal yang tidak lazim dan dianggap tidak biasa, kasar, materialistik, egois, tidak etis, tidak sesuai dengan adat timur dan lain sebagainya. Oleh karena demikian, perlu kiranya diberi pemahaman tentang hakikat dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut yang bukan semata-mata hanya untuk mempertahankan ego atau materialistik salah satu pihak, tapi sebagai bentuk perlindungan hak-hak wanita supaya sejarah tersubordinasinya wanita tidak selalu terulang sepanjang zaman dan selama isi dari perjanjian perkawinan tersebut tidak melanggar syar’i.
Perjanjian perkawinan dalam bentuk taklik talak mengandung banyak nilai-nilai, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sudah cukup mewakili untuk melindungi hak-hak seorang wanita (isteri) dari perlakuan diskrimintaif suami. Bila dirumuskan secara sederhana, kita bisa mendapatkan nilai-nilai perlindungan yang terkandung didalamnya, yakni nilai moral seorang suami, rasa cinta yang akan diberikan pada isteri dan anak-anaknya, tanggung jawab yang akan dijalani suami selama berkeluarga, dan nilai jera (istri menuntut cerai) yang akan dialami suami jika melanggar janji tersebut.
Dalam konsekuensi tersebut, perlu diberi kebijakan bahwa dengan pelanggaran pada sebuah perjanjian perkawinan tidaklah mesti harus diakhiri dengan perceraian, kecuali dilakukan dengan unsur kesengajaan oleh suami yang sudah tidak menginginkan untuk hidup bersama lagi dengan isterinya.
Dalam KHI pun terkandung nilai perlindungan, meskipun perlindungan tersebut adalah menyangkut harta, baik harta pribadi atau harta pencaharian masing-masing maupun harta pencaharian bersama. Perlindungan ini diharapkan untuk menghindari dari sewenang-wenang salah satu pihak terhadap harta yang mereka miliki.
Keseluruhan tulisan ini telah dipublikasikan pada Jurnal Al-Akhwalus Syahsyiah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, oleh Zuhrah.

0 komentar:

Posting Komentar